Jakarta, Berikabar.id – Pandemi masuk ke Indonesia pada Maret 2020 lalu menghantam berbagai sektor, tak terkecuali sektor perekonomian yang berdampak pada seluruh pihak. OJK dalam pertemuan tahunannya yang digelar virtual pada Jumat (15/1/2021) malam, Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso memaparkan sejumlah kebijakan yang telah dikeluarkan untuk tetap menjaga perekonomian.
Dijelaskannya pandemi Covid-19 merupakan badai besar yang membawa guncangan hebat bagi perekonomian dan pasar keuangan global. Perekonomian nasional pun terkontraksi cukup dalam, sehingga menekan kinerja sektor riil dan mengurangi pendapatan masyarakat.
Untuk mengantisipasi dampak pandemi Covid-19, OJK pada 2020 telah mengeluarkan berbagai kebijakan forward looking dan countercyclical policies yang ditujukan untuk mengurangi volatilitas pasar, memberikan ruang bagi sektor riil untuk dapat bertahan, serta menjaga stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan. Pemerintah dan Bank Indonesia juga sangat membantu dengan stimulus fiskal dan kebijakan moneter yang akomodatif.
“Kebijakan-kebijakan tersebut sangat efektif sehingga perekonomian domestik secara bertahap terus membaik Selain itu, stabilitas sistem keuangan sampai saat ini masih terjaga dengan baik,” kata Wimboh.
Lanjutnya, pada industri pasar modal, kebijakan pengendalian volatilitas yang dikeluarkan OJK sejak awal pandemi serta tindakan tegas pengawasan OJK telah meningkatkan kepercayaan investor yang tercermin dengan membaiknya IHSG di atas 6.000 pada awal 2021 setelah sebelumnya terpuruk di posisi terendah di 3.937,6 pada 24 Maret 2020. Penguatan IHSG tidak terlepas dari meningkatnya jumlah investor ritel di pasar modal yang mencapai 3,88 juta investor.
Sementara penghimpunan dana melalui penawaran umum mencapai Rp118,7 triliun dengan 53 emiten baru yang merupakan angka tertinggi di ASEAN.
Di industri perbankan, pelambatan aktivitas di sektor riil dan belum penuh beroperasinya korporasi besar membuat kinerja intermediasi perbankan mengalami tekanan dan terkontraksi -2,41% (yoy) di 2020. Namun demikian, kredit Bank BUMN masih tumbuh 0,63% dan BPD tumbuh 5,22%, serta Bank Syariah tumbuh 9,50%.
“Lalu pada sektor UMKM, berbagai kebijakan stimulus yang diberikan oleh OJK dan pemerintah berdampak pada stabilnya pertumbuhan kredit UMKM dan mulai tumbuh positif secara month to month pada beberapa bulan terakhir. Penempatan dana pemerintah di perbankan sebesar Rp66,7 triliun telah disalurkan sebesar Rp323,8 triliun atau memberikan leverage sebesar 4,8 kali,” jelasnya.
Ia juga mengatakan bahwa kebijakan restrukturisasi kredit perbankan yang telah diperpanjang, hingga akhir Desember telah mencapai Rp971 triliun (18% dari total kredit) dari sekitar 7,6 juta debitur UKM dan korporasi. Kebijakan ini menghasilkan profil risiko perbankan yang terkendali dengan rasio NPL gross pada level 3,06% (2019: 2,53%) atau net 0,98% (2019: 1,19%) dan didukung oleh permodalan yang cukup tinggi, yaitu CAR sebesar 23,78% (2019: 23,31%).
Sejalan dengan itu, likuiditas perbankan masih cukup memadai (ample) ditandai oleh alat likuid perbankan yang terus meningkat mencapai sebesar Rp2.111 triliun dibandingkan tahun lalu sebesar Rp1.251 triliun, dan Dana Pihak Ketiga yang tumbuh sebesar 11,11% yoy. Alat likuid per non-core deposit 146,72% dan liquidity coverage ratio 262,78%, lebih tinggi dari threshold-nya.
Sementara itu, kinerja intermediasi IKNB masih tertekan akibat pandemi Covid-19. Premi asuransi komersial terkontraksi sebesar -7,34% yoy (2019: 4,77% yoy). Piutang Perusahaan Pembiayaan terkontraksi sebesar -17,1% yoy (2019: 3,7%), akibat belum pulihnya berbagai sektor perekonomian.
“Kebijakan restrukturisasi kredit di Perusahaan Pembiayaan juga berjalan dengan baik yang mencapai Rp189,96 triliun (48,52% dari total pembiayaan) dari 5 juta kontrak. Hal ini telah menjaga profil risiko Perusahaan Pembiayaan dengan NPF yang masih terkendali sebesar 4,5%,” pungkasnya.
Sitti Harlina