Kendari, Berikabar.id – Sejumlah pasal kontroversial Omnibus Law Undang-undang Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker) Yang disahkan Oleh DPR RI, 5 Oktober 2020 Lalu, memicu gelombang aksi demonstrasi berbagai elemen masyarakat yang tergabung dalam sejumlah ormas dan aliansi mahasiswa. Seperti di daerah lainnya di Indonesia, Ibu Kota Provinsi Sultra, Kota Kendari, juga ikut riuh dengan gerakan yang melibatkan ratusan massa aksi dari berbagai organisasi. Mereka terpantau mulai menyasar gedung DPRD Provinsi Sultra, sejak Rabu (08/10/2020) Pagi.
Ratusan personel kepolisian terlihat siaga dengan sejumlah unit kendaraan taktis Pengurai massa (Raisa) milik Polri. Aksi masih terpantau kondusif sebelum akhirnya terjadi gesekan antara demonstrasi dan aparat kepolisian.
Gesekan kecil yang diwarnai aksi lempar batu, terjadi saat massa memasuki gedung DPRD Provinsi Sultra, menuntut para legislator menyahuti seruan aksi mereka.
Tuntutan massa lalu disahuti dengan pernyataan resmi sejumlah legislator, termasuk Ketua DPRD Sultra, Abudurrahman Saleh (ARS) dan unsur pimpinan lainnya. Ketua Fraksi PAN ini menyatakan dukungan atas pencabutan Omnibus law, meski partainya ikut mendukung pengesahan tersebut.
“Kami hari ini bersama mahasiswa setuju menolak Omnibus Law yang merugikan masyarakat, Pernyataan kami hari ini akan diteruskan ke Presiden RI, Jokowi, agar diinstruksikan ke DPR RI,” kata ARS.
Pernyataan ARS rupanya masih tak juga mampu meredam gesekan antara demonstran dan aparat, sehingga “Raisa” Menembakkan gas air mata ke kerumunan massa yang masih memadati gerbang kawasan perkantoran DPRD Sultra.
Massa aksi perlahan mundur berpencar menjauhi barikade pengamanan, sementara aparat kepolisian masih siaga di lokasi.
Hingga kini, personel kepolisian masih berjaga di sejumlah titik rawan ricuh. Aparat kepolisian juga memperluas area pengamanan, hingga ke traffic light ex-MTQ Kendari.
Untuk diketahui, Omnibus Law pertama kali muncul pada pidato pelantikan Presiden RI Jokowi, 20 Oktober 2019 lalu.
Omnibus Law adalah sebuah konsep yang mengatur UU utama untuk mengatur masalah yang diatur sejumlah UU, atau UU yang sekaligus merevisi beberapa UU.
Selain Omnibus Law Ciptaker, DPR RI juga mengesahkan Omnibus Law perpajakan. Kedua jenis UU ini diklasifikasikan ke dalam beberapa klaster. Namun belakangan ini, klaster ketenagakerjaan inilah yang akhirnya memancing kontroversi publik, karena dianggap merugikan masyarakat.
Berikut sejumlah pasal kontroversial Omnibus Law Cipta Kerja dalam Bab IV tentang Ketenagakerjaan yang dilansir dari laman suara.com:
Pasal 59: UU Cipta Kerja melaksanakan aturan mengenai jangka waktu PKWT atau pekerja kontrak. Pasal Kontroversial Omnibus Law Cipta Kerja yang mengikuti aturan mengenai jangka waktu PKWT atau pekerja kontrak.
Dalam Pasal 81 angka 15, UU Cipta Kerja mengubah ketentuan yang dijabarkan pada Pasal 59 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
UU Cipta Kerja mengubah Pasal 59 Ayat (4) UU Ketenagakerjaan ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu, hingga batas waktu perpanjangan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu atau PKWT yang diatur dengan peraturan pemerintah.
Sementara UU Ketenagakerjaan pembantuan bahwa PKWT dapat diadakan lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun. Ketentuan baru ini memberikan kekuasaan dan keleluasaan bagi pengusaha untuk mempertahankan status pekerja tanpa batas.
Kemudian Pasal 79 penghargaan bahwa pekerja mendapatkan hari libur dua hari dalam satu pekan yang diatur di dalam UU Ketenagakerjaan, dipangkas.
Pasal Kontroversial Omnibus Law Cipta Kerja berikutnya adalah tentang hak pekerja mendapatkan hari libur dua hari dalam satu pekan. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 81 angka 23 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 79 UU Ketenagakerjaan:
1. Pasal 79 Ayat (2) huruf (b), UU Cipta Kerja tentang pekerja yang wajib diberikan waktu istirahat setiap hari untuk enam hari kerja dalam satu pekan.
2. Pasal 79 UU Cipta Kerja juga membantu kewajiban perusahaan untuk memberikan istirahat panjang dua bulan bagi pekerja yang telah bekerja selama enam tahun berturut-turut dan membantu setiap kelipatan masa kerja enam tahun.
3. Pasal 79 Ayat (3) hanya membantu membayar pajak tahunan paling sedikit 12 hari setelah pekerja bekerja selama 12 bulan terus menerus.
Pasal Kontroversial Omnibus Law Cipta Kerja terkait upah pekerja. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 81 angka 24 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 88 UU Ketenagakerjaan. Pasal 88 Ayat (3) yang terlihat pada Bab Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja hanya menyebutkan tujuh kebijakan pengupahan yang sebelumnya ada 11 di dalam UU Ketenagakerjaan. 7 The Policy Itu, yaitu, Three Working Group and The Way Of The Way, The Working Group dan The Way Of The Payments.
Penulis: ER