Kendari, Berikabar.id – Sebuah penelitian yang dilakukan oleh dr Yusuf Musafir Kolewora, dr Jamaluddin dan Ditha Arisqa Nasir kepada ratusan pasien COVID-19 di RSUD Kota Kendari terkait terapi hydroxychloroquine ternyata terdapat perbedaan interval QTc bagi pasien sebelum dan sesuai dilakukan terapi hydroxychloroquine.
Dijelaskan para peneliti bahwa hydroxychloroquine merupakan obat yang diduga dapat bermanfaat untuk terapi COVID-19, tapi mekanisme kerja obat ini menghambat kanal kalium dan berpotensi memperpanjang QTc interval. Lebih lanjut dijelaskan bahwa penelitian tersebut adalah penelitian analitik observasional, dengan desain penelitian cross sectional, yang dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Kendari. Adapun jumlah sampel dalam penelitian yakni sebanyak 106 pasien. Penelitian dari 106 responden didapatkan responden terbanyak laki-laki sebanyak 54 orang (50,94%) dan perempuan sebanyak 52 orang (49,60%).
“Analisis bivariat diperoleh signifikansi 0,000 (P <0,05). Artinya terdapat perbedaan antara rata- rata nilai sebelum terapi yaitu 409,02 dengan rata- rata nilai sesudah terapi yaitu 426,10. Dengan rerata perubahan sebelum dan sesudah terapi yaitu 17,07,” beber dr Yusuf, Minggu (30/1/2022).
Dikatakannya bahwa dalam penelitian tersebut diketahui bahwa dari sampel yang diambil pasien mendapatkan terapi hydroxychloroquine pada bulan April sampai dengan bulan September 2020.
“Terapi hydroxychloroquine dan azitromisin dapat memperpanjang interval QTc hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Chorin dkk pada tahun 2020 dimana hydroxychloroquine dan azitromisin dapat memperpanjang QTc interval pada pasien dengan COVID-19,” katanya.
Lanjutnya, menurut salah satu penelitian bahwa rerata perubahan interval QTc pada pasien yang diterapi dengan azitromisin adalah sebanyak 10 ms14, sedangkan pada penelitian lainnya15 pada tahun 2020 bahwa rerata perubahan interval QTc pada pasien yang diterapi dengan hydroxychloroquine adalah sebanyak 15 – 34,25 ms.
QTc meningkat lebih banyak seiring bertambahnya usia pada pria (2,7 milidetik per dekade dan pada wanita (1,1 milidetik per dekade), yang mengakibatkan perbedaan QTc menurun antara jenis kelamin seiring bertambahnya usia. “Hal ini disebabkan karena penurunan kadar testosteron seiring bertambahnya usia pada pria mengakibatkan perpanjangan potensial aksi yang disebabkan oleh efek testosteron pada ICaL, tetapi tidak pada IKs. Tingkat testosteron yang lebih rendah ini menyebabkan peningkatan durasi potensial aksi karena efek testosteron pada ICaL dan IKs 16,” jelasnya.
Dijelaskan pula hasil uji beda terapi hydroxychloroquine terhadap QTc interval pada pasien COVID-19 di RSUD Kota Kendari dimana n Rerata±s.b perbedaan Rerata ±s.b p. Sebelum terapi HCQ 106 409,02±19,42 17,07±11,11 0,000 lalu sesudah terapi HCQ 106 426,10±20,41. Diperoleh signifikansi 0,000 (P <0,05), artinya terdapat perbedaan antara rata – rata nilai sebelum terapi dengan rata- rata nilai sesudah terapi.
“Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan QTc interval sebelum dan sesudah terapi hydroxychloroquine pada pasein COVID-19 di RSUD Kota Kendari. Hal ini sejalan dengan penelitian lainnya dimana hasil penelitian tersebut menyatakan pasien
COVID-19 yang telah dirawat, sebanyak 90 pasien diberikan terapi hydroxychloroquine. Sebanyak 19% pasien yang menerima terapi hydroxychloroquine didapatkan perpanjangan interval QTc sebanyak 500 milidetik atau lebih13,” pungkasnya.
Lifya